Netra, Jakarta – Kabaharkam Polri Komjen Fadil Imran kini merangkap jabatan sebagai Komisaris di MIND ID, holding BUMN sektor pertambangan. Komisi III DPR menyoroti rangkap jabatan tersebut karena dinilai berpotensi melanggar aturan hukum.
Dikihat Netra di situs resmi MIND ID, Kamis (3/7/2025), nama Komjen Fadil sebagai salah satu komisaris. Dalam situs itu juga dituliskan profilnya sebagai lulusan Akpol 1991 yang kini menjabat Kabaharkam Polri, dan pernah menduduki posisi Kapolda Metro Jaya dari November 2020 hingga 21 Maret 2023.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengatakan bahwa pihaknya sudah mengkaji soal jabatan ganda Fadil Imran. Menurutnya, posisi tersebut tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Berkaitan dengan polemik jabatan Komjen Fadil Imran sebagai Komisaris Mining Industry Indonesia (MIND ID), kami telah mengkaji bahwa terdapat potensi pelanggaran hukum yang terjadi, yakni rangkap jabatan yang tidak sesuai ketentuan,” kata Habiburokhman.
Ia menjelaskan bahwa anggota Polri tidak diperbolehkan merangkap jabatan di perusahaan milik negara. “Perlu kami sampaikan bahwa rangkap jabatan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di badan usaha milik negara (BUMN) dapat bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,” ucapnya.
Habiburokhman menegaskan bahwa larangan tersebut tercantum dalam Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam aturan itu disebutkan bahwa anggota Polri tidak boleh merangkap sebagai pejabat di BUMN, BUMD, maupun swasta, kecuali dalam bidang pendidikan, penelitian, atau bidang lain yang sejenis dengan izin Kapolri. Ia juga menyebut Pasal 17 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang turut melarang rangkap jabatan oleh pejabat publik.
“Demikian pula dalam Pasal 17 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang layanan publik, terdapat larangan pejabat publik melakukan rangkap jabatan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai rangkap jabatan seperti ini bisa berdampak negatif terhadap institusi.
“Rangkap jabatan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengganggu profesionalitas institusi kepolisian, serta bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena itu, rangkap jabatan Polri di BUMN juga berpotensi melanggar etika administrasi dan disiplin anggota, disamping bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.
Meski demikian, ia menyatakan menghormati jika ada anggota Polri yang diminta membantu institusi lain sesuai kapasitasnya. Namun khusus jabatan di BUMN, ia menyarankan agar ditinjau ulang.
“Dalam hal rangkap jabatan anggota Polri di BUMN ini perlu untuk ditinjau ulang agar tidak melanggar ketentuan dan menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini akan berdampak positif terhadap upaya untuk menjaga citra Polri yang profesional, independen, dan akuntabel,” pungkasnya.