Netraedu, Jakarta – Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia memenuhi panggilan suci menuju Tanah Haram, termasuk dari Indonesia negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Namun, di balik semarak penyelenggaraan ibadah haji masa kini, tersimpan kisah panjang perjuangan umat Islam Nusantara dalam menunaikan rukun Islam kelima. Bahkan, dari sejarah inilah lahir tradisi pemberian gelar “Haji” yang masih lestari hingga hari ini.
Awal Mula Perjalanan Haji dari Nusantara
Jejak awal umat Islam Nusantara berhaji diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16, bahkan beberapa sumber menyebut lebih awal. Para saudagar, ulama, dan pelajar dari wilayah pesisir Jawa, Sumatera, dan Sulawesi melakukan perjalanan laut yang panjang menuju Makkah dan Madinah.
Pada masa itu, perjalanan haji bukanlah hal yang mudah. Jamaah harus menempuh rute laut yang panjang, kadang memakan waktu hingga berbulan-bulan bahkan lebih dari setahun. Kapal-kapal layar menjadi satu-satunya moda transportasi, dan risiko terpapar cuaca buruk, wabah penyakit, hingga perompak menjadi bagian dari pengorbanan spiritual yang besar.
Menurut Dr. Azyumardi Azra, seorang sejarawan dan cendekiawan Muslim Indonesia, pada abad ke-17 dan 18, para jamaah haji dari Nusantara sering menetap dalam waktu lama di Makkah untuk belajar agama. Mereka membentuk komunitas intelektual dan membawa pulang gagasan pembaruan Islam yang kelak berpengaruh besar terhadap perkembangan keislaman di tanah air.
Era Kolonial dan Regulasi Haji
Ketika Belanda mulai mengukuhkan kekuasaannya di Nusantara, perjalanan haji menjadi perhatian serius. Seiring meningkatnya jumlah jamaah haji, pemerintah kolonial khawatir bahwa Makkah menjadi tempat lahirnya gerakan perlawanan terhadap penjajahan.
Sebagai respon, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan berbagai kebijakan pengawasan haji. Salah satunya adalah kewajiban mendapatkan “Pas Haji” sebagai izin resmi untuk berhaji. Dalam catatan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang meneliti Islam di Nusantara, Makkah dianggap sebagai “markas ideologis” yang dapat menumbuhkan semangat perlawanan.
Namun, alih-alih menekan, kebijakan ini justru membuat jamaah haji semakin sadar akan identitas keagamaannya. Haji bukan sekadar ritual, melainkan momentum spiritual dan sosial.
Asal-Usul Gelar “Haji”
Salah satu tradisi unik umat Islam Indonesia adalah penggunaan gelar “Haji” (untuk laki-laki) atau “Hajjah” (untuk perempuan) setelah menunaikan ibadah haji. Tidak semua negara Muslim memiliki kebiasaan ini.
Secara linguistik, gelar ini berasal dari bahasa Arab “ḥājj” (الحاجّ) yang berarti “orang yang melaksanakan haji”. Di Indonesia, gelar ini kemudian mengalami penyesuaian secara sosial-budaya, menjadi simbol status spiritual dan juga sosial.
Dalam masyarakat tradisional, menyandang gelar “Haji” menunjukkan seseorang telah menunaikan pengorbanan besar, baik finansial maupun fisik. Gelar ini juga sering diasosiasikan dengan meningkatnya kewibawaan sosial, sehingga banyak tokoh masyarakat, ulama, dan pemuka adat dikenal dengan awalan “Haji” di depan namanya.
Transformasi Makna dan Tantangan Masa Kini
Seiring perkembangan zaman, perjalanan haji menjadi lebih mudah secara logistik, namun tetap memiliki tantangan, terutama terkait kuota dan biaya. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama mengelola penyelenggaraan haji secara sistematis, termasuk pendaftaran, bimbingan manasik, hingga pelaksanaan di Arab Saudi.
Meskipun gelar “Haji” tetap digunakan secara luas, sebagian kalangan mengingatkan bahwa nilai utama dari ibadah haji adalah transformasi batin. Gelar hanyalah bagian luar, sedangkan yang terpenting adalah perubahan perilaku dan ketakwaan.
Sejarah berhaji di Indonesia bukan sekadar kisah perjalanan fisik, tetapi juga refleksi dari dinamika keagamaan, sosial, dan budaya umat Islam Nusantara. Gelar “Haji” yang disematkan kepada mereka yang telah menunaikan ibadah ini bukan hanya penanda, tetapi cerminan harapan bahwa sang pemilik gelar telah menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam dunia yang terus berubah, semangat untuk berhaji tetap menyala, menjadi bagian dari warisan spiritual yang mengakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia.