Opini – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah produk hukum yang final dan mengikat. Hal itu seharusnya menjadi rujukan utama dalam seluruh tahapan pemilu, termasuk saat pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU).
Namun dalam praktiknya, terjadi ketegangan antara norma hukum yang bersifat tetap dengan dinamika administratif penyelenggaraan pemilu. Kasus Ahmad Syarifuddin Daud (Ome) dalam Pilkada Kota Palopo 2024 menjadi contoh menarik.
Dalam surat KPU RI Nomor 690/PL.02.2-SD/06/2025 tertanggal 7 April 2025, KPU RI mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:
“Verifikasi demikian tidak berlaku bagi Dr. Akhmad Syarifuddin S.E., M.Si., bilamana yang bersangkutan diajukan lagi sebagai calon, baik sebagai calon wakil walikota atau calon walikota.”
Pernyataan tersebut sejatinya memberi batasan yang tegas kepada penyelenggara pemilu untuk tidak lagi membuka atau mengulang proses verifikasi berkas pencalonan Ome. Dengan kata lain, kelengkapan administratif Ome harus dianggap final pada tahap awal.
Sehingga bila ditemukan kekurangan termasuk kegagalan mengumumkan status sebagai mantan terpidana maka seharusnya berujung pada diskualifikasi, bukan justru diberi ruang perbaikan.
Namun kenyataannya, Ome justru diberi kesempatan oleh KPU Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk melengkapi syarat pencalonan pasca putusan MK. Salah satu yang dilengkapi adalah pengumuman sebagai mantan terpidana, yang justru menjadi syarat esensial sebagaimana ditegaskan MK dalam putusan Nomor 87/PUU-XX/2022.
Sebagai pembanding, dalam perkara Pilkada Kabupaten Pasaman, calon wakil bupati Anggit Kurniawan Nasution didiskualifikasi, karena tidak mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana. MK dengan tegas memerintahkan PSU tanpa mengikutsertakan yang bersangkutan.
Situasi ini sangat mirip dengan kasus Ome, tetapi respons kelembagaan berbeda secara drastis. Ketidakkonsistenan penegakan hukum ini memunculkan pertanyaan mendasar: lalu dimanakah letak kepastian hukum dan keadilan pemilu? Bila satu calon diberi ruang koreksi dan lainnya langsung didiskualifikasi, maka integritas pemilu menjadi taruhannya.
Tak berlebihan bila sebagian publik mulai meragukan proses PSU dan menilai perlakuan terhadap Ome sebagai bentuk keberpihakan. Tentu, diskresi administratif adalah hak pejabat tata usaha negara, termasuk KPU. Namun, diskresi tidak dapat menabrak norma konstitusional.
Hal tersebut hanya dapat dilakukan dalam kekosongan hukum, bukan bertentangan dengan putusan pengadilan, apalagi Mahkamah Konstitusi.
Langkah KPU RI dan KPU Sulsel yang memberi kesempatan perbaikan kepada Ome atas dasar rekomendasi Bawaslu tampak sebagai bentuk diskresi berlebihan. Padahal, telah ada dua kaidah yang seharusnya membatasi tindakan tersebut:
Pertama, ketentuan putusan MK yang melarang verifikasi ulang; dan kedua, asas keadilan yang menuntut perlakuan setara terhadap semua calon.
Mengizinkan Ome mengikuti PSU setelah tidak memenuhi syarat pencalonan sama artinya dengan membiarkan pelanggaran itu tetap berlanjut. Ini membuka potensi sengketa baru dan PSU jilid dua di Palopo—sebuah pemborosan politik dan biaya yang mestinya bisa dihindari.
Kita percaya, KPU beritikad menjaga hak politik setiap warga negara, termasuk hak Ome untuk dipilih. Namun keinginan itu tidak boleh mengorbankan hak warga Kota Palopo untuk mendapatkan pemimpin yang memenuhi syarat dan bersikap jujur. Kepastian hukum adalah fondasi demokrasi. Bila ia diabaikan, maka kepercayaan publik akan runtuh pelan-pelan, lalu hilang.