Netraedu, Jakarta – Di sebuah sore panas di bulan Mei 1998, dunia dikejutkan oleh ledakan bawah tanah di gurun Pokhran, India. Tidak lama berselang, di Chagai Hills, Pakistan menjawab dengan dentuman serupa. Bukan sembarang ledakan: itu adalah uji coba senjata nuklir. Dua negara bertetangga yang telah lama berseteru, kini resmi menjadi negara bersenjata nuklir. Dunia pun menahan napas.
Akar Persaingan: Sejak Kemerdekaan
India dan Pakistan lahir dari perpecahan besar India Britania pada tahun 1947. Sejak saat itu, kedua negara telah berperang setidaknya empat kali: 1947, 1965, 1971, dan 1999 (Perang Kargil). Konflik utama? Wilayah Kashmir, yang diklaim oleh kedua pihak. Ketegangan yang tak kunjung reda menjadi tanah subur bagi perlombaan senjata.
India: Langkah Pertama ke Dunia Nuklir
India mulai mengembangkan program nuklirnya sejak tahun 1948 di bawah Perdana Menteri pertama, Jawaharlal Nehru. Awalnya, program ini murni untuk damai. Namun, perang melawan China pada 1962 dan uji coba nuklir China pada 1964 mengubah arah kebijakan.
Pada 1974, India mengejutkan dunia dengan uji coba nuklir pertamanya di Pokhran, Rajasthan, yang diberi nama “Smiling Buddha”. Meski disebut uji coba “damai”, pesan strategisnya sangat jelas: India telah masuk ke era nuklir.
Pakistan: Menjawab dengan Teknologi dan Tekad
Melihat tetangganya melangkah ke ranah nuklir, Pakistan merasa terancam. Setelah kekalahan dalam perang 1971 dan kehilangan Bangladesh, tekad Pakistan untuk mengejar ketertinggalan semakin kuat. Dengan bantuan dari ilmuwan nuklir seperti Dr. Abdul Qadeer Khan dan dukungan dari beberapa negara sahabat (termasuk Tiongkok), Pakistan membangun program nuklir rahasianya.
Pada 1998, setelah India kembali melakukan uji coba, Pakistan merespons dalam waktu singkat dengan uji coba nuklirnya sendiri di Chagai, Balochistan. Dunia pun resmi menyaksikan dua negara bertetangga, saling bermusuhan, kini sama-sama memiliki senjata pemusnah massal.
Perang Kargil 1999: Bayangan Bom di Pegunungan Himalaya
Beberapa bulan setelah kedua negara melakukan uji coba nuklir, perang pecah kembali di wilayah Kargil. Meskipun perang tersebut berlangsung secara konvensional, keberadaan senjata nuklir di balik layar menciptakan kekhawatiran global. Ini menjadi contoh pertama di dunia tentang konflik bersenjata antara dua negara bersenjata nuklir.
Masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, segera turun tangan untuk mendinginkan suasana. Untungnya, konflik ini tidak berkembang menjadi bencana nuklir.
Deterrence: Damai Karena Takut?
Sejak 1999 hingga 2025, India dan Pakistan beberapa kali mengalami bentrokan, terutama di wilayah perbatasan Kashmir. Namun, sejak memiliki senjata nuklir, keduanya menunjukkan kehati-hatian yang lebih besar.
Konsep “deterrence” atau daya gentar nuklir berperan penting. Kedua negara sadar bahwa perang besar-besaran bisa berarti kehancuran bersama (mutual assured destruction). Hal ini secara paradoks malah menciptakan stabilitas dalam ketegangan.
2025: Senjata yang Tak Pernah Digunakan, Tapi Selalu Mengancam
Hingga perang terakhir yang tercatat pada 2025, senjata nuklir belum pernah digunakan dalam pertempuran di Asia Selatan. Namun, keberadaannya terus menjadi bayang-bayang mengerikan dalam hubungan kedua negara.
Meskipun ada beberapa kemajuan dalam diplomasi, seperti perjanjian hotline darurat, pertemuan militer tingkat tinggi, dan perjanjian pelarangan uji coba, ancaman konflik nuklir tetap menghantui setiap krisis.
Sejarah senjata nuklir di Asia Selatan bukan hanya tentang teknologi atau militer, tetapi juga tentang psikologi, sejarah, dan politik. India dan Pakistan hidup dalam realitas yang kompleks, di mana bom bukan untuk digunakan, tapi untuk ditakuti.
Di tengah upaya perdamaian dan pembangunan, keduanya tetap harus menari di atas tali tipis: menjaga perdamaian sambil memegang kunci kehancuran. Masa depan Asia Selatan, dan mungkin dunia, akan sangat ditentukan oleh bagaimana kedua.