Netrasport, Jakarta – Insiden pelemparan batu kembali mencoreng nama Arema FC dalam laga kandang perdana mereka di Stadion Kanjuruhan, Minggu (11/5/2025). Aremania yang tak terima timnya kalah 0-3 dari Persik Kediri, meluapkan emosi dengan menyerang bus tim tamu.
Akibat aksi tersebut, kaca depan dan samping kiri bus Persik pecah. Pelatih Divaldo Alves terluka di kepala karena duduk tepat di sisi kaca yang dilempar batu.
Peristiwa ini terjadi dalam momen emosional kembalinya Arema ke Kanjuruhan setelah dua tahun menjadi tim yang tidak memiliki stadion pasca Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022. Sayangnya, bukan sambutan positif yang tercipta, melainkan tindakan anarkis yang mencederai semangat perbaikan.
“Kami kecewa dengan beberapa stakeholders pertandingan kemarin. Tiga tahun kami berusaha mempertahankan eksistensi klub. Bersungguh-sungguh untuk kembali ke rumah sendiri,” ujar General Manager Arema, Yusrinal Fitriandi.
“Sementara itu banyak pihak tiada henti mencaci maki klub, yang di satu sisi klub berusaha bertahan dan tabah menghadapi padahal klub mengalami masa sulit dengan keterbatasan dana, karena tidak ada pemasukan lantaran harus terusir, rasanya hanya cukup sisa tenaga, semangat dan niat tulus mempertahankan klub ini. Kami terasa sudah berdarah darah, sekuat daya dan upaya kami lakukan, namun hasilnya seakan-akan kita tidak dihormati di sini.” Imbuhnya.
Mentalitas suporter yang tidak siap menerima kekalahan disebut sebagai salah satu pemicu kerusuhan di masa lalu. Dua tahun lalu, usai kekalahan dari Persebaya Surabaya, sejumlah Aremania menyerbu lapangan dan memicu tragedi yang menewaskan 135 orang.
Kisah para pemain Persebaya yang harus melewati ribuan massa dengan rasa takut terekam dalam dokumenter klub. Situasi saat itu digambarkan sebagai momen hidup dan mati.
Tragedi tersebut membuat Liga 1 2022/23 sempat dihentikan sementara dan dilanjutkan tanpa penonton. Arema juga mengalami penolakan dari banyak kota hingga sempat mempertimbangkan untuk membubarkan diri pada awal 2023.
Momentum yang Terabaikan
Tragedi Kanjuruhan semestinya menjadi titik balik pembenahan sepakbola nasional. Upaya perdamaian antar suporter mulai terlihat di media sosial, termasuk hubungan hangat antara The Jakmania dan Bobotoh. Namun, larangan suporter tandang yang diberlakukan PSSI justru memudarkan semangat rekonsiliasi.
Aturan tersebut diklaim sebagai bagian dari Transformasi Sepakbola Indonesia berdasarkan arahan FIFA. Sayangnya, tanpa ruang pertemuan antarsuporter, kebencian justru makin mengakar.
Meski demikian, masih ada harapan dari gerakan seperti ‘Mataram Islah’, yang mempertemukan suporter dari PSS Sleman, Persis Solo, Persiba Bantul, dan PSIM Yogyakarta dalam semangat damai.
Sebagai perbandingan, Inggris menjadikan Tragedi Hillsborough 1989 sebagai momen reformasi besar. Renovasi stadion, pengetatan pengamanan, dan penerapan sistem Bubble Match menjadi bagian dari upaya meredam hooliganisme.
Sayangnya, sistem serupa belum diterapkan secara efektif di Indonesia. Hukuman ringan pasca Tragedi Kanjuruhan pun dianggap tak memberi efek jera. Insiden terbaru di Kanjuruhan mempertegas bahwa sebagian suporter masih belum belajar dari sejarah kelam yang belum lama terjadi.