Netra, Jakarta – Hamas dikabarkan siap untuk bersepakat untuk gencatan senjata atau mengakhiri selama 5 tahun di Jalur Gaza. Hamas juga disebut bersedia untuk melepaskan seluruh warga negara Israel yang disandera kelompok tersebut.
Dilansir AFP, Minggu (27/4/2025), delegasi Hamas mengunjungi Kairo, Mesir, untuk berdiskusi dengan para mediator Mesir mengenai jalan keluar dari perang selama 18 bulan yang telah menewaskan lebih dari 51 ribu jiwa di Gaza.
Kesepakatan gencatan senjata perlu dipercepat, mengingat makin menipisnya makanan dan persediaan medis di Gaza. Menurut salah seorang pejabat Hamas, yang berbicara kepada AFP secara anonim, syarat mengakhiri perang yang diajukan yakni dengan pertukaran tahanan dalam satu gelombang dan gencatan senjata selama 5 tahun.
Sebelumnya, usulan mengenai gencatan senjata ditolak oleh Israel pada awal bulan ini. Usulan tersebut menyerukan kesepakatan ‘komprehensif’ untuk menghentikan perang besar yang sudah terjadi beberapa tahun belakangan.
Salah seorang pejabat senior Hamas menuturkan usulan yang ditolak Israel mencakup gencatan senjata selama 45 hari dengan imbalan pengembalian 10 sandera yang masih hidup.
Sedangkan pihak Hamas menginginkan agar kesepakatan gencatan senjata berujung pada berakhirnya perang dan penarikan penuh tentara Israel dari Jalur Gaza. Kemudian diharapkan bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza.
Pada saat Joe Biden memimpin Amerika Serikat, usulan yang sama yakni penarikan Israel dan ‘berakhirnya perang secara permanen’ juga pernah diusulkan. Pemerintahan Biden merencanakan dua fase gencatan senjata, fase pertama dimulai pada 19 Januari 2025, tetapi hanya bertahan dua bulan saja.
Lalu untuk fase kedua, Hamas telah mengupayakan pembicaraan, tetapi Israel menginginkan fase pertama diperpanjang. Israel menuntut pengembalian semua sandera yang ditawan dalam serangan 2023, dan pelucutan senjata Hamas, yang ditolak kelompok itu sebagai ‘garis merah’.
“Kali ini kami akan menuntut jaminan mengenai berakhirnya perang. Penjajah dapat kembali berperang setelah kesepakatan parsial apa pun, tetapi tidak dapat melakukannya dengan kesepakatan komprehensif dan jaminan internasional,” kata seorang pejabat senior Hamas, Mahmud Mardawi, dalam sebuah pernyataan.
Sementara pejabat senior Hamas, Osama Hamdan menyebut tidak akan menerima atau bahkan mempertimbangka proposal kesepatan bila tidak mencakup penghentian perang yang komprehensif dan permanen.
“Kami tidak akan meninggalkan senjata perlawanan selama penjajahan berlanjut,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Militer Israel kembali melakukan serangan ke Jalur Gaza, dilaporkan sebanyak 55 orang tewas dari yang sebelumnya sebanyak 44 orang pada Kamis (25/4).
Menurut Badan pertahanan sipil Gaza enam orang yang menjadi korban tewas berasal dari satu keluarga, yang tediri dari pasangan suami-istri dan empat anak. Keenam orang tersebut tewas ketika serangan udara militer Israel berlangsung, kemudian dalam sekejap rumah mereka menjadi rata dengan tanah, di area Gaza City bagian utara.
Diketahui, serangan Israel yang menghantam rumah salah satu keluarga Palestina tersebut terjadi saat mereka sedang tertidur.
Ada 3 negara yang menjadi mediator dalam konflik ini, yakni Qatar, Amerika Serikat, dan Mesir. Ketiga negara tersebut menjadi penengah untuk mengupayakan gencatan senjata sejak 19 Januari.
Harapannya, mediator dapat mendatangkan lonjakan bantuan, bersamaan dengan pertukaran sandera dan tahanan antara Palestina dan Israel.
Hal itu disebabkan Israel dan Hamas tidak sepakat mengenai tahap selanjutnya dari gencatan senjata, kemudian Israel menghentikan semua akses bantuan ke Gaza dan melanjutkan pengeboman.