Netra, Jakarta – Kejaksaan Tinggi Banten kembali menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengangkutan dan pengelolaan sampah tahun 2024 senilai Rp 75,9 miliar. Tersangka terbaru adalah TB Apriliadhi Kusumah Perbangsa, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek yang dikelola Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan.
TB Apriliadhi yang juga menjabat sebagai Kabid Kebersihan DLH Tangsel, ditahan usai menjalani pemeriksaan pada Rabu (16/4/2025) sore. Ia tampak menangis saat keluar dari ruang penyidik Kejati Banten dan menolak memberikan keterangan kepada awak media. Tersangka langsung dibawa ke Rutan Kelas IIB Pandeglang.
“Tim penyidik kembali melakukan penahanan tersangka atas nama TAKP yang menjabat sebagai KPA dan merangkap sebagai PPK dalam perkara dugaan korupsi kegiatan pekerjaan jasa layanan pengangkutan sampah dan pengelolaan sampah di Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel 2024,” ujar Kasi Penkum Kejati Banten, Rangga Adekresna.
Menurut Rangga, TB diduga menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tanpa dasar keahlian dan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga lalai menjalankan fungsi klarifikasi teknis terhadap PT EPP, perusahaan pelaksana proyek, serta menyusun kontrak kerja yang tidak mencantumkan lokasi tujuan pembuangan sampah maupun teknis pengelolaan.
“Karena tidak mengatur sama sekali tujuan lokasi pengangkutan sampah dan tidak mengatur bagaimana teknis pengolahan sampah yang harus dilakukan oleh PT EPP,” katanya.
Parahnya, dalam pelaksanaan proyek, PT EPP membuang sampah ke lokasi yang tidak sesuai. Meski demikian, pembayaran proyek tetap dilakukan penuh senilai Rp 75,9 miliar, meski terdapat kekurangan dalam dokumen administrasi.
“Meskipun terdapat kelengkapan persyaratan administrasi pencairan pembayaran yang tidak dipenuhi oleh PT EPP,” tambahnya.
Sejauh ini, penyidik telah menetapkan tiga tersangka dalam perkara ini, yakni Kepala DLH Tangsel Wahyunoto Lukman, pihak swasta berinisial SYM dari PT EPP, serta TB Apriliadhi. Wahyunoto dan SYM diduga bersekongkol sejak awal proses tender, termasuk mengubah klasifikasi usaha PT EPP agar memenuhi syarat sebagai perusahaan pengelola sampah.
“Dalam mempersiapkan proses pengadaan pekerjaan untuk memenangkan PT EPP dalam proses tender, WL telah bersekongkol dengan SYM,” ungkapnya.
Proyek senilai Rp 75,9 miliar itu terbagi dalam dua pos: Rp 50,7 miliar untuk pengangkutan dan Rp 25,2 miliar untuk pengelolaan sampah. Keduanya kemudian mendirikan CV Bak Sampai Induk Rumpintama (BSIR) sebagai subkontraktor pengelolaan, dengan menunjuk Sulaeman, penjaga kebun Wahyunoto, sebagai direktur operasional, dan Agus Syamsudin sebagai direktur utama.
CV BSIR dan PT EPP, menurut Kejati, sama-sama tidak memiliki pengalaman maupun kemampuan dalam pengelolaan sampah.
“Karena PT EPP tidak memiliki kapasitas dan pengalaman dalam pekerjaan pengelolaan sampah,” jelasnya.