Netra, Jakarta – Sejumlah 500 lebih visa mahasiswa dan peneliti yang terafiliasi dengan universitas-universitas di Amerika Serikat (AS) dicabut tanpa alasan yang jelas. Hal ini ini terjadi di tengah tindakan keras imigrasi yang lebih luas oleh pemerintahan Presiden Trump.
Dilansir dari CNN, Minggu (13/4/2025), setelah meninjau dokumen pengadilan, pernyataan dari pengacara, dan pengumuman dari lebih dari 80 universitas dan perguruan tinggi di seluruh negeri mengonfirmasi bahwa lebih dari 525 mahasiswa, dosen, dan peneliti telah dicabut visanya tahun ini.
Pemerintah AS sendiri telah mengakui sebagian dari klaim tersebut. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubino mengatakan di bawah kepemimpinannya, Departemen Luar Negeri AS telah mencabut lebih dari 300 visa yang sebagian besarnya adalah visa milik mahasiswa asing di AS.
Kasus pertama yang mencuat dan menyita perhatian publik adalah penangkapan Mahmoud Khalil usai aksi protes pro-Palestina di Universitas Columbia. Khalil dituduh mendukung organisasi teroris.
Namun saat ini mulai banyak ancaman deportasi kepada mahasiswa asing di AS hanya karena alasan-alasan sepele seperti pelanggaran kecil yang sudah lama terjadi.
“Semua instrumen dalam undang-undang imigrasi sebenarnya sudah ada sebelumnya, tapi sekarang digunakan dengan cara yang menimbulkan kepanikan massal, kekacauan, dan ketakutan,” ungkap presiden terpilih Asosiasi Pengacara Imigrasi AS Jeff Joseph.
“Dengan harapan para mahasiswa tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai dan pada akhirnya akan meninggalkan negara ini secara sukarela,” imbuh Joseph.
Paling baru, seorang warga negara Rusia yang juga peneliti Harvard Medical School Kseniia Petrova ditahan karena membawa embrio katak ‘non-berbahaya’ tanpa mendeklarasikannya di formulir bea cukai saat kembali ke AS dari Prancis. Visa kunjungan pertukaran miliknya dicabut dan dia dibawa ke tahanan.
Pengacara Petrova, Greg Romanovsky menyebut tindakan yang dilakukan otoritas AS itu sebagai hukuman yang tidak sebanding. Greg mengatakan apa yang dilakukan kliennya hanya sebagai kesalahan yang tidak disengaja.
CNN telah berupaya meminta penjelasan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri terkait hal tersebut namun tidak mendapat tanggapan. Namun, departemen tersebut menyampaikan pesan kepada ABC News mengenai alasan penahanan Petrova.
“Pesan-pesan yang ditemukan di ponsel (Petrova) mengungkap bahwa ia berencana menyelundupkan material tersebut melewati bea cukai tanpa mendeklarasikannya,” tulis pesan tersebut.
Saat ini Petrova ditahan di fasilitas tahanan Imigrasi dan Bea Cukai di Louisiana. Menurut catatan ICE, dia menunggu sidang pada 9 Juni yang bisa berakhir dengan deportasinya ke Rusia.
Pengacara Petrova Greg Romanovsky mengatakan Peteova akan segera ditangkap jika dideportasi ke Rusia. Karena ia dianggap bersikap vokal menentang invasi Rusia ke Ukraina.
“Penahanannya tidak hanya tidak perlu, tapi juga tidak adil,” ujar Romanovsky.