Netra, Jakarta – Ko Zeyar, seorang warga Myanmar, harus melewati jalanan yang rusak dan reruntuhan bangunan untuk kembali ke kampung halamannya di Sagaing, yang terparah terdampak oleh gempa bumi. Perjalanan dari Mandalay, yang biasanya memakan waktu hanya 45 menit, kini harus ditempuhnya dalam waktu 24 jam.
Dilansir dari CNN pada Sabtu (5/4/25), Sagaing menjadi pusat gempa terbesar yang pernah terjadi di Myanmar dalam satu abad terakhir, yang mengguncang negara itu pada Jumat (28/3) lalu. Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 ini merusak banyak daerah dan menyebabkan lebih dari 3.000 korban jiwa.
Sesampainya di Sagaing, Ko Zeyar merasa bersyukur karena keluarganya selamat, meskipun banyak teman-temannya tewas dan sebagian besar kota hancur.
Ia menyaksikan banyak jenazah masih terperangkap di bawah reruntuhan bangunan. Jenazah-jenazah itu belum dihitung dalam jumlah korban tewas yang telah dipastikan lebih dari 3.000 orang seminggu setelah gempa.
“Seluruh kota dipenuhi bau mayat,” kata Ko Zeyar, yang bekerja sebagai seorang pekerja sosial.
Warga setempat berusaha menguburkan korban di kuburan massal, sementara para penyintas berdiri dalam antrean panjang untuk mendapatkan makanan dan air.
Banyak dari mereka terpaksa tidur di luar ruangan dengan hanya beralaskan tikar, menghadapi rasa takut akan gigitan nyamuk dan suhu udara yang mencapai 37 derajat Celsius. Ketakutan terus mencekam, seiring dengan gempa susulan yang terus mengguncang wilayah tersebut.
“Hampir seluruh kota tidur di jalan, di peron, atau di lapangan sepak bola, termasuk saya sendiri, karena situasinya sangat menakutkan,” ujar Ko Zeyar.
Ia mengaku merasa khawatir tidur di dalam bangunan, takut gempa akan menyebabkan bangunan runtuh. “Saya tidur di dekat pintu agar mudah lari jika terjadi sesuatu,” katanya saat berbicara melalui telepon pada Kamis (3/4) ketika gempa susulan kembali mengguncang.
Skala bencana yang begitu besar telah menciptakan krisis baru di Myanmar, sebuah negara Asia Tenggara yang sudah dilanda kemiskinan dan penderitaan.
Hampir 20 juta orang sudah membutuhkan bantuan kemanusiaan setelah empat tahun perang saudara. Sejak kudeta militer pada tahun 2021, pemimpin junta, Min Aung Hlaing, terlibat dalam konflik dengan kelompok pejuang pro-demokrasi dan etnis bersenjata.
Perang yang berlangsung lama telah menguras sumber daya lokal, sementara infrastruktur kesehatan yang dibutuhkan untuk merespons bencana ini juga rusak parah.
Sekitar 80% kota Sagaing hancur akibat gempa tersebut, dan kerusakan meluas ke daerah pedesaan sekitarnya. Jalan-jalan yang menghubungkan kota dengan desa-desa terpencil rusak parah dan berkelok, menghambat proses penyelamatan dan distribusi bantuan, termasuk pengiriman alat berat seperti ekskavator dan backhoe.
“Upaya penyelamatan atau bantuan tidak bisa segera sampai ke Sagaing. Jembatan-jembatan yang menghubungkan kota ini rusak parah. Ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak nyawa hilang. Terlambat untuk menyelamatkan orang-orang ketika bantuan datang,” tambah Ko Zeyar.