Netra, Jakarta – Pada Selasa (1/4/25) malam, militer Myanmar menembaki konvoi Palang Merah China yang sedang mengirimkan bantuan ke daerah yang dilanda gempa. Insiden ini terjadi saat konvoi sembilan kendaraan melewati Kotapraja Naung Cho, Negara Bagian Shan, dalam perjalanan menuju Kota Mandalay.
Kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA), yang menguasai wilayah tersebut, mengonfirmasi bahwa serangan itu dilakukan dengan senapan mesin berat. Mereka juga menyebutkan bahwa konvoi sudah memberi tahu junta militer mengenai rute dan rencana bantuan tersebut.
Junta militer mengakui serangan itu, yang terjadi sekitar pukul 21:30 waktu setempat, namun menyatakan tidak ada korban luka. Serangan tersebut terjadi di tengah situasi pasca-gempa yang menghancurkan Myanmar.
Hingga Rabu (02/04), Panglima Militer Myanmar, Min Aung Hlaing, melaporkan bahwa jumlah korban tewas akibat gempa mencapai 2.719 orang, sementara 4.521 orang terluka dan 441 orang masih hilang. Ia juga memperkirakan bahwa jumlah korban tewas dapat melebihi 3.000 orang.
Militer Lanjutkan Serangan Meski Ada Gencatan Senjata
Meskipun kelompok pemberontak yang tergabung dalam Aliansi Tiga Persaudaraan mengumumkan gencatan senjata selama sebulan untuk mendukung operasi penyelamatan pasca-gempa, militer Myanmar tetap melanjutkan serangan. Min Aung Hlaing menolak gencatan senjata tersebut, dengan alasan bahwa kelompok-kelompok yang bersekutu dengan pemerintah bayangan bisa mengeksploitasi situasi tersebut.
“Militer akan melanjutkan operasi pertahanan yang diperlukan,” kata Min Aung Hlaing pada acara penggalangan dana di Naypyidaw pada Selasa (1/4).
Serangan militer terus berlanjut di berbagai wilayah, termasuk serangan udara yang menewaskan tujuh orang di Naung Cho pada pukul 15:30 waktu setempat, tak lama setelah gempa mengguncang. Selain itu, laporan juga mencatat serangan udara di Kota Chang-U, wilayah Sagaing, dan dekat perbatasan Thailand.
Bantuan Terkendala, PBB Desak Penghentian Serangan Militer
Di tengah bencana ini, lembaga-lembaga bantuan melaporkan bahwa pasokan makanan, air, obat-obatan, dan tempat tinggal sangat terbatas. Mereka mendesak bantuan internasional agar segera ditingkatkan sebelum musim hujan datang. PBB menuduh junta Myanmar menggunakan pasokan bantuan sebagai alat perang, dengan memblokir distribusi bantuan kemanusiaan di wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak.
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, mendesak agar militer menghentikan serangan. “Ini benar-benar keterlaluan dan tidak dapat diterima,” tegasnya, seperti dilansir dari BBC.