Netra, Jakarta – Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengingatkan Amerika Serikat (AS) bahwa tindakan militer terhadap Iran akan berbuah balasan yang keras. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Khamenei setelah Presiden AS Donald Trump melontarkan ancaman serangan udara.
“Mereka mengancam akan melakukan tindakan jahat. Jika itu terjadi, kami akan memberikan respons yang sangat kuat,” tegas Khamenei mengenai pernyataan Trump yang mengancam Iran dalam pidatonya pada saat Idul Fitri, seperti dilansir AFP pada Senin (31/3/2025).
Ancaman dari Trump untuk menyerang Iran disampaikan dalam wawancara pada Sabtu (29/3), di mana ia menyatakan bahwa Iran akan dibombardir jika tidak mencapai kesepakatan mengenai program nuklirnya.
“Jika mereka tidak mencapai kesepakatan, maka serangan udara akan dilakukan,” ujar Trump dalam wawancara dengan NBC News.
Selain itu, Trump juga mengancam akan memberlakukan ‘tarif sekunder’ terhadap Iran, meskipun belum jelas apakah serangan yang dimaksud akan dilakukan oleh pesawat militer AS atau dalam koordinasi dengan Israel.
Sejak dilantik pada Januari 2025, Trump telah kembali menerapkan tekanan maksimal terhadap Iran. Pada periode pertama kepresidenannya, Trump menarik AS dari perjanjian nuklir dengan Iran pada 2018 dan mengembalikan sanksi berat terhadap Teheran.
Negara-negara Barat, termasuk AS, telah lama menuduh Iran berusaha mengembangkan senjata nuklir. Namun, Iran membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa program pengayaan uraniumnya hanya bertujuan untuk keperluan damai.
Kesepakatan nuklir Iran yang tercapai pada 2015 antara Teheran dan negara-negara besar dunia mengharuskan Iran untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan pengurangan sanksi internasional.
Pada 7 Maret lalu, Trump menyampaikan bahwa dia telah mengirim surat kepada Khamenei yang berisi ajakan untuk negosiasi mengenai nuklir, sekaligus memberikan peringatan tentang potensi serangan militer jika Teheran menolak.
Surat tersebut kemudian diteruskan ke Teheran pada 12 Maret oleh penasihat Presiden UEA, Anwar Gargash. Pada Kamis, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengonfirmasi bahwa Iran telah membalas surat Trump melalui Oman, namun tidak memberikan rincian mengenai isi balasan tersebut.
Araghchi menegaskan bahwa Iran tidak berniat untuk terlibat dalam pembicaraan langsung dengan AS “di bawah tekanan maksimal dan ancaman militer.” Namun, Iran tetap terbuka untuk “negosiasi tidak langsung.”
Oman sebelumnya pernah berperan sebagai perantara ketika hubungan diplomatik AS-Iran terputus setelah Revolusi Islam 1979. Negara-negara Barat juga menuduh Iran mendukung kelompok-kelompok proksi yang mereka anggap sebagai organisasi teroris, untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah.
Iran dipandang sebagai pemimpin dari apa yang disebut “poros perlawanan” yang menentang Israel, yang meliputi Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan kelompok-kelompok bersenjata di Irak.
“Hanya ada satu kekuatan proksi di kawasan ini, dan itu adalah rezim Zionis yang telah merampas kekuasaan dan korup,” ujar Khamenei, yang kembali menyerukan agar Israel dihancurkan.
Iran tidak mengakui Israel sebagai negara dan memandangnya sebagai musuh utama, yang juga merupakan sekutu terdekat AS di Timur Tengah. Iran sering mengancam untuk menyerang Israel.